Semoga Kamu Baik-baik Saja

Tiada salam terindah yang terbalas pula dengan doa terindah darimu

Assalamualaykum warohmatullah wabarokatuh...

dijawab yaa~

Kita mulai ngeblog kali ini dengan pembuka terindah "Bismillahirrahmanirrahim"

Pengen ngucap alhamdulillah juga sih karena sampai saat ini Allah masih kasih kesempatan buat melakukan kehidupan yang normal. Ngebayangin ga sih, kalau tiba-tiba kita buka mata, terus kita gatau kita udah berada dimana kecuali tempat yang kita pijaki saat itu juga. Waktu bangun, kasur empuk kita udah ilang, ga ada orang di sekeliling kita. Pedih banget pasti rasanya, sampai pas nulis ini aja ga tahan rasanya ingin menangis. 

Tapi plis, jangan nangis dulu, karena tulisan ini belum kelar.

Jadi, tulisan kali ini bakal ceritain hasil dari ceritanya aku sama Kak Ayu. Kakak kelas di IC yang padahal di IC ga pernah ketemu (fyi, dia masuk kuliah 2012, aku kuliah 2016). Qadarullah waktu itu kami ketemu di acara mabit dikenalkan sama Kak Zahra yang juga kakak kelas aku. Kak Ayu itu, masya Allah banget sih, baik sama orang-orang, sekarang doi lagi hamil memasuki bulan keenam, doakeun ya, semoga dede dan kakaknya baik-baik aja. 

Rabu sore lalu, qadarullah ketemu kak Ayu di perpus setelah mengurusi berkas administrasinya sebelum nantinya balik lagi ke daerah asalnya, Sulteng. Awalnya cuma nanya kabar keluarga di Sulteng. Tapi ada hikmah yang aku rasa penting buat disampaikan lewat tulisan ini. So, ini murni hasil cerita kita ditambah opini penulis (jadi, suka-suka yang nulis dong)

Liat deh sejarahnya, masyarakat Palu sudah tahu sebelumnya kalau di tanah yang mereka tempati itu ada patahan yang dinamakan "palu koro" suatu sesar yang tentunya akan bergerak, suatu saat. Dulunya, masyarakat setempat sudah dihimbau untuk ga bangun rumah atau bangunan apapun di dekat pantai yang merupakan titik patahan palu koro itu. Tapi, lama kelamaan karena gelap mata dan berambisi untuk meraih kekayaan, dibangunlah rumah-rumah, gedung-gedung di sekitar patahan tersebut. Taulah, pantai Sulawesi itu bangus-bagus banget, sehingga bisa menjadi penarik wisatawan dengan adanya tempat tinggal di sana. Dan yang namanya juga fenomena alam, ga ada yang bisa nebak, tapi seengganya harusnya kita bisa mengantisipasi karena sudah tau ada potensi kerusakan di sana. Tapi tetap, rumah rumah sudah terbangun, gedung gedung sudah menjulang. 

Dulu, teman seangkatan Kak Ayu yang dari Sulteng juga, saat ditanya guru Geografi tentang alasannya pilih pembinaan olimpiade geografi beliau jawab "Saya tau Indonesia rawan bencana, saya tau daerah saya rawan bencana karena adanya palu koro tersebut. Saya ingin belajar bagaimana caranya untuk mitigasi gempa, setidaknya tau apa yang harus dilakukan." 

Bek tu cerita~

Hingga akhirnya saat patahan itu benar benar bergerak kuat, hancurlah rumah rumah yang berada di sekitar pusat patahan palu koro itu. 

Hari itu, Sabtu, 29 September 2018 Palu diguncang. 
Setiap kejadian yang ada itu karena ada sebab akibatnya. Begitu pula Allah, enatah rahasia apa yang tengah tertulis saat itu. 

Hari itu ada pesta Namoni di sana, hari sebelumnya beberapa ormas Islam, ulama  telah berusaha mendatangi walikota untuk menolak acara tersebut, agar acara tersebut tidak jadi  dilaksanakan. Tapi sayangnya, menolak acara besar dengan biaya yang tak murah itu bukan perkara mudah, tak semudah membubarkan kajian-kajian ustadz seperti biasanya. Tuntutan tidak diterima, acara tersebut tetap terselenggara. Sekitar pukul 8 pagi, gempa pertama yang mengguncang Palu, disusul pada pukul 2 siang gempa terjadi lagi, masyarakat mulai panik, bermuhasabah, "mungkinkh ini teguran atas acara yang tak diridhoi-Nya?" karena tahun sebelumnya pun hujan besar disertai angin melanda saat pesta tersebut diselenggarakan.

Beberapa ormas serta ulama  yang sempat menolak acara tersebut mulai mengingatkan untuk menghentikan acara tersebut. Sayangnya, sentilan kecil itu tak digubris, acara masih berlanjut, bahkan sebelum gempa terbesar yang berakibat tsunami, berkali kali sudah gempa terjadi, gempa tersebut tidak menghentikan acara tersebut. Hingga "only god can stop us" cuma Allah yang bisa menghentikan lewat sentilannya. Menjelang maghrib, gempa besar datang, acara barulah dapat terhentikan. 

Sedih rasanya, dua hari sebelum gempa, Ustadz Somad berkunjung ke sana, mengisi ceramah di masjid terapung. Bahkan ustadz sempat memuji kota Plalu yang menghargai ulama, hingga diabadikan menjadi nama bandara, yaitu bandara SIS Al-Jufri yang tak lain adalah ulama sekaligus pahlawan bagi kota Palu. Dua hari selanjutnya, masjid terapung telah tenggelam, menyisakan puing-puing kesakitan.

Saat itu, acara pesta nomoni berada di dekat jembatan ikonik kota Palu, kendaraan di parkir di seberang jembatan. Dan ketika gempa terjadi, orang berlarian menuju kendaraannya, tapi gerak hancurnya jembatan tak mampu mengalahkan gerak larinya manusia. Hingga banyaklah manusia yang tak selamat di jembatan tersebut. Mendengar kisahnya, teringat tentang jembatan shiratal mustaqim yang banyak menggugurkan orang-orang yang tak selamat menyebranginya. Merinding rasanya.

Indonesiaku, baik-baiklah kamu. Inikah tanda mulai banyak kemaksiatan di negeriku? 

Indonesia memang banyak kekayaan alamnya, banyak pula resiko bencana alamnya. Indonesia ku saat ini, sedang banyak guncangannya, tapi semoga hati kami setegar karang yang tak mudah goyah akan deburan ombak yang menerpanya. Still strong kamu, negeri tercintaku. 



With love, tukang singgah di bumi


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Menghafal Quran?

Semangat UAS

Sama Allah Kok Itung-Itungan?